Toksikokinetik Dan Toksikodinamik Formaldehid
Formaldehida merupakan senyawa organik dengan rumus CH2O. Ini adalah aldehida yang paling sederhana, maka nama sistematis metanal. Formaldehida ditemukan oleh kimiawan Rusia Aleksander Butlerov (1828-1886) dan meyakinkan diidentifikasi dengan Agustus Wilhelm von Hofmann. Formaldehida adalah gas tidak berwarna dengan bau, kuat pedas. Hal ini biasanya digunakan dalam bentuk cair sebagai larutan 40% dikenal sebagai formalin dan dalam bentuk padat sebagai paraformaldehyde.
Formaldehid tidak bewarna, dalam bentuk gas mudah meledak dalam temperatur ruangan, memiliki bau yang tajam dan menyengat, dan bisa menimbulkan sensasi terbakar pada mata, hidung, dan paru‐paru pada konsentrasi tinggi. Formaldehid dikenal pula sebagai metanal, metilen oxida, oksimetilen, metilaldehid, dan oksometan.
Formaldehid dapat bereaksi dengan berbagai bahan kimia lainnya, dan terpecah menjadi metanol (alkohol kayu) dan karbon monooksida pada temperatur yang sangat tinggi. Formaldehid
diproduksi secara alami dalam jumlah yang sangat kecil dalam tubuh sebagai bagian dari metabolisme tubuh dan hal itu tidak membahayakan. Dapat pula ditemukan dalam udara yang kita hirup di kantor, rumah, dalam makanan yang kita makan, dan dalam produk‐produk yang kita oleskan pada kulit kita.
Sumber terbesar formaldehid yang kita hirup setiap hari berasal dari lapisan terbawah atmosfir bumi. Sedangkan di rumah, formaldehid dihasilkan dari rokok dan produk‐produk rokok lainnya dan kompor gas. Formaldehid tersebut juga digunakan sebagai bahan pengawet pada beberapa makanan dan beberapa jenis keju Italia, makanan kering, dan ikan. Formaldehid ditemukan dalam produk‐produk yang kita pakai sehari‐hari di rumah seperti antiseptik, obat, kosmetik, cairan pencuci piring, pelembut kain, pembersih karpet, lem dan perekat, kertas, plastik, dan beberapa jenis produk‐produk kayu.
Formaldehid digunakan dalam berbagai industri, seperti dalam produksi pupuk, kertan, plywood, dan resin urea‐formaldehid, juga terdapat dalam udara pada industri penempaan baja. Pada industri pertanian, formaldehid dijumpai pada pupuk dan bibit tanaman. Pada industri baja, ditemukan dalam produksi lateks, pewarnaan kulit, pengawetan kayu, dan produksi film fotografi. Juga digunakan di berbagai rumah sakit dan laboratorium untuk mengawetkan spesimen jaringan.
2.1.TOKSIKOKINETIK
2.1.1. Absorbsi
Bentuk larutan gas formaldehid dapat terhirup melalui saluran pernapasan. Akibat metabolisme cepat membentuk formate, sedikit, jika ada, intak formaldehid dapat ditemukan dalam darah manusia yang terpapar formaldehid. Begitu pula dapat diserap oleh saluran pencernaan. Pada semua kasus, absorbsi tampaknya hanya terbatas pada lapisan sel pada titik kontak, dan jaluru masuk ke dalam darah (absorbsi sistemik) terjadi sangat minimal.
Formaldehid adalah molekul kecil, reaktif, dan larut air, dengan berat molekul sebesar 30.03, dimana dapat diabsorbsi dalam jaringan saluran pernapasan (pajanan inhalasi) dan saluran pencernaan. Absorbsi melalui saluran pernapasan diperkirakan hampir mendekati 100%, yang terjadi di mukosa hidung (Casanova‐Schmitz et al.1984a; Casanova et al.1991; Heck et al. 1982,1983) dimana terjadi terutama pada mukosa hidung anterior pada tikus (Chang et al.1983). Formaldehid juga tampaknya diserap cepat setelah terjadi pajanan oral pada tikus (Galli et al.1983). Absorbsi melalui kulit monyet tampaknya cukup lambat (hanya sekitar 0.5% dosis yang diberikan); dimana sebagian besar hilang Melalui Penguapan Ataupun Diserap Ke Dalam Kulit (Jeffcoat 1983).
2.1.2. Distribusi
Distribusi ke organ‐organ yang jauh seperti ginjal, lemak, limpa, dll tampaknya bukan merupakan faktor utama toksisitas formaldehid. Heck et al. (1983) menemukan bahwa pada tikus, 14C‐formaldehid yang terhirup (8 ppm dalam 6 jam) meningkatkan konsentrasi radioaktivitas dalam darah tikus setelah beberapa hari terpapar (waktu paruh 55 jam).
2.1.3. Metabolisme
Formaldehid sangat cepat dimetabolisme dan penyimpanan bukanlah faktor toksisitas formaldehid. Metabolisme formaldehid membentuk format (melalui formaldehid dehidrogenase / alkohol dehidrogenase kelas III) memiliki peran pada setiap jaringan tubuh sebagai konsekwensi dari formasi endogen formaldehid, dan formate ini cepat dibuang keluar tubuh (Heck et al.1982).
Formaldehid dehidrogenase adalah enzim metabolik utama yang terlibat dalam metabolisme formaldehid pada semua jaringan yang diteliti; dan terdistribusi merata pada jaringan hewan, khususnya pada mukosa hidung tikus, dan spesifik untuk aduksi glutation formaldehid.
2.1.4. Eksresi
Konversi formaldehid yang cepat menjadi format , tampaknya ekskresi bukanlah menjadi faktor toksisitas formaldehid. Metabolisme membentuk format berperan di dalam setiap jaringan tubuh sebagai akibat formasi endogen formaldehid. Sedangkan formaldehid eksogen masuk jalur tersebut dan di ekskresi dalam bentuk CO2.
II.2. TOKSIKODINAMIK
2.2.1. Efek pada Pernapasan
Hasil pada beberapa studi terhadap manusia dan hewan mengindikasikan bahwa saluran pernapasan atas merupakan target kritikal dari formaldehid yang terdapat di udara dalam konsentrasi antara 0,4 – 20 ppm. Studi pada manusia dengan pajanan terkontrol memperlihatkan pajanan jangka‐pendek ke dalam konsentrasi udara berkisar antara 0,4 – 3 ppm menyebabkan iritasi ringan mata, hidung, dan tenggorokan.
2.2.2. Efek pada Kardiovaskular
Telah terdapat beberapa penelitian mengenai efek pada kardiovaskular seperti hipotensi (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981), kolaps sirkulasi (Freestone and Bentley 1989), dan sinus takikardia (Kochhar et al.1986) akibat menelan formaldehid dosis tinggi. Namun masih belum jelas bagaimana formaldehid dapat menginduksi gejala‐gejala tersebut atau jika ada faktor‐faktor luar yang menyertainya, tampaknya berhubungan dengan dosis besar formaldehid yang tertelan dalam waktu yang singkat.
Pada tikus ditunjukkan 5‐25% terjadi peningkatan tekanan dara, dibandingkan dengan nilai istirahat, dalam responsnya terhadap pemberian dosis formaldehid antara 0,5‐5mg/kg (Egle dan
Hudgins 1974). Secara jelas, dosis intravena 20 mg/kg secara signifikan menurunkan tekanan darah sekitar 30% dan menginduksi transient cardiac arrest.
2.2.3. Efek pada Saluran Pencernaan:
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Appelman et al.1988; Kamata et al.1997; Kerns et al.1983b; Maronpot et al.1986; Monticello et al.1989; Woutersen et al.1987, formaldehid tidak mengakibatkan efek yang berarti pada saluran pencernaan setelah menelan formaldehid tersebut, dan hanya efek nonspesifik seperti kram perut dan flatus yang terjadi setelah terpapar formalin atau resin fenol‐formaldehid (Kilburn 1994).
Bila terjadi pajanan akut dalam dosis besar, lesi bisa ditemukan dalam orofaring berupa ulcer dan atau nekrosis dari palatum molle dan struktur phalangeal, ulcer epiglotis, dan lesi esofagus (mengakibatkan disfagia) (Freestone dan Bentley 1989; Kochhar et al.1986). tanda klinis vagus lain berupa muntah (dengan ataupun tanpa disertai muntah berdarah) dan sakit abdominal atau kram perut juga terjadi pada beberapa kasus (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981).
2.2.4. Efek pada Hematologi:
Kasus koagulopati intravaskular pernah dilaporkan terjadi pada seorang pria yang telah menelan dosis formaldehid yang besar (Burkhart et al.1990); namun pada laporan yang lain mengenai pajanan yang kecil melalui oral tidak menimbulkan efek apapun pada sistem darah (Eells et al. 1981; Freestone and Bentley 1989; Kochhar et al. 1986; Koppel et al. 1990). Sebuah studi mengenai pajanan oral pada tikus percobaan yang meminum air sebagai perantara formaldehid dengan dosis 82‐150mg/kg/hari, tidak menimbulkan efek apapun.
2.2.5. Efek pada Sistem Hepatik
Pernah dilaporkan terjadi efek pada hepar seperti kongesti parenkim hati dan peningkatan serum enzym berhubungan dengan kerusakan hati pada manusia dengan keracunan akut formaldehid (Freestone and Bentley 1989; Koppel et al.1990). Peningkatan insidens vakuolisasi hepatoselular terjadi pada tikus percobaan dengan dosis 80 mg/kg/hari selama 4 minggu (Vargova et al.1993).
Namun studi lain tidak menemukan perubahan pada berat hati ataupun histopatologinya pada tikus percobaan yang terpapar dosis setinggi 150 mg/kg/day for 90 days (Johannsen et al. 1986), 125 mg/kg/hari selama 4 minggu (Til et al.1988b), 82–109 mg/kg/hari selama 2 tahun (Til et al. 1989), dan 300 mg/kg/hari selama 2 tahun (Tobe et al. 1989).
Peningkatan aktivitas enzim mengindikasikan kerusakan hati pernah dilaporkan terjadi pada tikus yang terpapar dengan dosis konsentrasi udara sebesar 35 ppm selama 18 jam (Murphy et al.1964) atau 20 ppm 6 jam/hari, 5 hari/minggu selama 13 minggu (Woutersen et al.1987).
2.2.6. Efek pada Ginjal
Data yang tersedia menunjukkan bahwa sistem renal bukanlah target organ utama pajanan toksisitas formaldehid. Gagal ginjal / anuria yang terjadi pada 3 laporan kasus yang melibatkan mereka yang tertelan formaldehid dalam jumlah sangat besar ataupun yang tidak diketahui jumlahnya (Eells et al. 1981; Freestone and Bentley 1989; Koppel et al.1990). Mekanisme aksi induksi gagal ginjal tersebut masih belum jelas. Kasus nekrosis papiler pernah dilaporkan terjadi pada tikus percobaan yang menerima 82‐109 mg/kg/hari dalam air minum selama 2 hari (Til et al.1989), dan meningkatkan nitrogen urea darah pada tikus yang menerima dosis 300 mg/kg/hari pada air minumnya selama 12 bulan (Tobe et al.1989).
2.2.7. Efek pada Kulit:
Formaldehid dikenal secara luas sebagai bahan iritan kulit dan agen sensitisasi kulit. Test Patch untuk sensitisasi kulit akan formaldehid telah dilakukan pada dosis 1‐2% larutan karena, untuk kebanyakan individu, pajanan akut pada konsentrasi tersebut tidak menimbulkan gejala iritasi non‐imun (seperti eritema, indurasi, dan bisul). Peningkatan insiden dermatitis kontak atau dermatitis kontak alergi yang berhubungan dengan pajanan kulit terhadap larutan formaldehid telah diteliti pada pekerja jasa pemakaman (Nethercott dan Holness 1988) dan diantara pekerja medis (Rudzki et al.1989).
2.2.8. Efek pada Mata:
Iritasi mata merupakan keluhan tersering pada mereka yang terpajan formaldehid melalui
udara. Pada kasus akut dalam studi pajanan terkontrol, kejadian iritasi mata ringan hingga sedang pada konsentrasi tingkat‐rendah antara 0,4‐4 ppm; pada dosis mendekati puncaknya, semakin besar persentasi mereka yang mengalami iritasi mata (Akbar‐Khanzadeh and Mlynek 1997; Akbar‐Khanzadeh et al. 1994; Bender et al. 1983; Day et al. 1984; Gorski et al. 1992; Kulle 1993; Kulle et al.1987; Schachter et al. 1986; Weber‐ Tschopp et al. 1977; Witek et al. 1986, 1987).
Sebagai tambahan, studi survey menunjukkan peningkatan rata‐rata kasus iritasi
mata pada group mereka yang terpajan berulang kali di rumah ataupun tempat kerja, dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar (Garry et al. 1980; Holness and Nethercott 1989; Horvath et al. 1988; Ritchie and Lehnen 1987).
2.2.9. Efek pada Metabolik:
Metabolik asidosis diamati pada pasien yang menelan dosis tunggal formaldehid dengan dosis besar (>500mg/kg) (Burkhart et al.1990; Eells et al.1981; Koppel et al.1990). Produksi metabolik formate yang cepat pada tingkat dosis tinggi ini sepertinya memegang peranan terjadinya asidosis yang telah diamati.
2.2.10. Efek pada sistem tubuh lainnya:
Penurunan konsumsi makanan dan minuman telah diteliti pada hewan yang terpajan dosis oral formaldehid sebesar 100mg/kg/hari (Johannsen et al.1986; Til et al.1989; Tobe et al.1989). Dan penurunan konsumsi makanan ini dapat menurunkan pula berat badan, yang biasanya terjadi pada mereka yang terpajan secara kronik.
IV. EFEK TOKSISITAS FORMALDEHID
Studi mekanistik memperlihatkan bahwa respon karsiongenik terhadap inhalasi formaldehid secara kronik pada tikus percobaan berdampak kerusakan non‐neoplastik pada epitelium kavitas hidung, yang mendukung hipotesis bahwa kanker terinduksi formaldehid akan terjadi hanya pada tingkat pajanan yang sangat tinggi (Monticello et al.1996).
IV.1. Genotoksisitas
Menurut Yager et al.1986, terdapat bukti peningkatan ringan limfosit perifer pada pajanan 0,73‐1,95 ppm selama 10 minggu. Penelitian lainnya menunjukkan peningkatan formasi micronuklei pada pekerja kayu (Ballarin et al.1992) dan peningkatan insiden terjadinya abnormalitas kromosom pada makrofag paru‐paru tikus percobaan (Dallas et al.1992).
Formaldehid juga telah diketahui menginduksi aberasi kromosom (Dresp dan Bauchinger 1988; Natarajan et al.1983), meningkatkan formasi mikronukleus (Ballarin et al.1992). Intensitas insidens tersebut menunjukkan bahwa formaldehid mempunyai kemampuan untuk beraksi langsung dengan DNA.
IV.2. Toksisitas pada Organ Reproduksi
Formaldehid dalam jumlah yang sedikit tidak bisa menimbulkan toksisitas pada organ reproduksi. Tidak ada efek pada jumlah maupun morfologi sperma yang ditemukan pada subjek yang terpajan formaldehid (Ward et al.1984), dan peningkatan angka keguguran tidka ditemukan diantara mereka yang terpajan (Garry et al.1980). Studi terhadap hasiljadi reproduksi pada group pekerja terpajan formaldehid menunjukkan bahwa formaldehid memiliki efek toksisitas yang kecil terhadap organ reproduksi.
IV.3. Toksisitas pada Efek Perkembangan
Hasil dari studi terhadap manusia dan beberapa hewan menunjukkan bahwa formaldehid tampaknya tidak menyebabkan toksisitas pada perkembangan tubuh manusia ataupun hewan percobaan pada tingkat pajanan yang rendah. Tidak ada kemaknaan yang berarti diantara insiden berat lahir rendah dan tingkat udara ambien formaldehid diantara grup ibu‐ibu yang tinggal di beberapa distrik perumahan yang berbeda. Tidak ada kematian embrio ataupun efek teratogenic yang ditemukan pada studi pajanan‐gestasional tikus percobaan yang terpajan konsentrasi udara hingga 40 ppm (Martin 1990; Saillenfait et al.1989).
IV.4. Imunotoksisitas
Sensitisasi kulit pada manusia sudah diketahui dengan baik dari hasil‐hasil tes Patch pada klinik‐klinik kulit di seluruh dunia (Fischer et al.1995; Kiec‐Swierczynska 1996; Maibach 1983; Marks et al. 1995; Meding and Swanbeck 1990; Menné et al. 1991). Respon alergik yang berat akibat formaldehid, bagaimanapun juga, tampaknya jarang terjadi; hanya satu kasus respon anafilaktik berat yang pernah terjadi (Maurice et al.1986).
Relevansi penemuan‐penemuan tersebut akan kemungkinan sensitisasi saluran pernapasan terhadap formaldehid masih belum dapat dipastikan karena peningkatan IgE tidak berhubungan dengan jumlah dan tingkat bahaya suatu gejala, dan gejala‐gejala tersebut lebih mengindikasikan respon iritan dibandingkan dengan respon tipe‐asma yang dimediasi melalui antibodi IgE.
IV.5. Neurotoksisitas
Sistem saraf bukanlah target organ yang utama paparan toksik formaldehid, walaupun gejala‐gejala neurologis vagal dapat saja terjadi, seperti sakit kepala, kepala terasa berat, dan peningkatan waktu reaksi (Bach et al.1990). Killburn dan kolega, melaporkan bukti bahwa terjadi gejala neurologis dan gangguan performance pada tes neurobehavioral pada beberapa pekerja yang terpajan formaldehid.
Post a Comment